Bulan Oktober dikenal juga sebagai Bulan Bahasa. Bulan Oktober disepakati sebagai bulan bahasa dan sastra indonesia sebab ada sejarah sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan juga awal dari persatuan Indonesia salah satunya dengan Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Bulan bahasa adalah istilah yang muncul karena terjadi perbedaan bahasa antar daerah bagi pemuda tempo dulu. Karena sekarang hampir semua rakyat Indonesia sudah tahu bahasa Indonesia, maka bulan bahasa kini menjadi hari besar, yang selalu diperingati setahun sekali, setiap 28 Oktober.
Terlepas dari bulan bahasa, terjadi permasalahan yang sebenarnya cukup memprihatinkan. Belakangan ini, terlepas dari bulan bahasa dan sastra, muncul kebiasaan , dimana kaum millennial yang bangga menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa daerah maupun bahasa ibu.
Terlepas dari pro kontra pandangan terhadap penggunaan bahasa asing dan bahasa ibu, satu yang pasti bahwa lahirnya bahasa Indonesia memiliki sejarah dan patut kita banggakan dan junjung tinggi. Bulan bahasa adalah bulan yang penuh makna yang bersifat sentimentil dan masih ada nilai nasionalisme. Jadi awal mula istilah bulan bahasa bertepatan dengan Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 1928.
Peristiwa ‘Sumpah Pemuda’ terbilang unik karena momentum tersebut mendahului kelahiran negara Indonesia 17 tahun kemudian. Saat Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, mereka melakukannya atas nama bangsa Indonesia. Artinya, kebangsaan Indonesia mendahului kenegaraan Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk kebahasaan Indonesia, yang mengambil akar pada bahasa Melayu ‘pasar’ mengingat sejak lama ia sudah menempati posisi sebagai bahasa penghubung (lingua franca) bagi suku-suku yang ada di Nusantara.Salah satu alasan kenapa bulan bahasa ditetapkan bersamaan dengan hari peringatan Sumpah Pemuda karena 79 tahun yang lalu, kongres Pemuda yang kedua yang diselenggarakan pada 27-29 Oktober 1928 di Batavia. Kala itu isi dari kongres Pemuda adalah menegaskan bahwa Indonesia memiliki Cita-cita. Setidaknya ada tiga poin dasar yang ditegaskan kala itu, yaitu “tanah Air Indonesia”, Bahasa Indonesia” dan Bangsa Indonesia”. Maka dari itu, kenapa bulan bahasa jatuh pada 28 Oktober, bersamaan dengan sumpah pemuda karena mewakilkan dan bentuk kecintaan terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Kemudian ditegaskan lagi isi dari sumpah pemuda yang berbunyi sebagai berikut.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Bottom of Form
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dari ketiga sumpah pemuda di atas sudah terlihat jelas bahwa sangat menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah sekarang sudah bangga dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia?
Sudah hal umum, banyak orang yang tahu bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan. Dimana negara kita memiliki banyak pulau, dan banyak sekali suku yang ada. Semakin banyak suku dan pulau, dan bahasa daerah. Dilansir dari kompasiana, menyebutkan bahwa ada 719 bahasa daerah di Indonesia, yang aktif dituturkan ada 707 bahasa. Sementara UNESCo mencatat ada 143 bahasa daerah.
Keberagaman bahasa yang luar biasa inilah pulalah, yang menjadikan Indonesia menjadi negara yang kaya akan bahasa. Maka dari itu, untuk menyatukan persepsi dan menyatukan pemahaman antar pulau, suku, dan keberagaman bahasa yang ada. Dibentuklah bahasa Indonesia dihari kongres Pemuda yang kedua yang diselenggarakan pada 27-29 Oktober 1928 di Batavia.
Sejarah sumpah pemuda seperti yang dilansir oleh kompas.com bahwa ikrar sumpah pemuda tidak lepas dari rangkaian rapat Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia atau yang akrab kita dengar dengan singkatan PPPI. Dimana kongres dilakukan di tiga gedung berbeda.
- Ketiga gedung tersebut ada yang dilangsungkan gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Di Lapangan Banteng, pada Sabtu 27 Oktober 1928. Pada kala itu rapat dibuka dan disambut oleh Soegondo. Isi dari rapat tersebut adalah memperkuat semangat persatuan pemuda.
- Tempat yang kedua, tepatnya pada hari Minggu, 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop. Kesempatan ini rapat menekankan masalah bidang pendidikan kebangsaan.
- Rapat ketiga dilakukan di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat. Rapat di gedung ini Soenario menekankan pentingnya nasionalisme dan demokrasi.
Berangkat dari sanalah, lahir Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Sekaligus sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa Nasional.
Tujuan bulan bahasa pada dasarnya ada banyak sekali yang ingin disampaikan. Dimana setiap orang dan individu akan merasakan masing-masing dan merasakan secara subjektif tentang arti bulan bahasa. Diantara tujuannya sebagai berikut.
- Mencintai bahasa Indonesia, sebagai bahasa pemersatu sekaligus sebagai bahasa ibu.
- Bulan bahasa sebagai awal perjuangan pemuda untuk menyatukan bangsa Indonesia, yang kita tahu bahwa tanpa persatuan bahasa, bagaimana kita bisa melawan penjajah, jika tidak ada bahasa pemersatu? Tentu saja tidak mungkin menggunakan bahasa isyarat, padahal satu negara.
- Bertujuan untuk memberikan pesan kepada seluruh rakyat Indonesia agar tetap menjaga keutuhan bangsa, dan tidak mudah terpecah belah.
- Bertujuan pula untuk memberikan semangat dan meningkatkan peran masyarakat.
- Melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia
- menyatukan persepsi dan pandangan ketika mengunjungi sebuah daerah, yang mana kita tidak menguasai bahasa daerah tersebut. Maka kita bisa menyatukan pemahaman menggunakan bahasa Indonesia.
- Dalam dunia sastra, bahasa indonesia memudahkan pembaca dari Sabang sampai Merauke memahami pesan cerita yang disampaikan penulis.
- Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk menggalang kekuatan dalam kaitannya menyamakan sudut pandang, kritik terhadap pemerintah ataupun dukungan untuk pemerintah dari berbagai lini daerah.
Tentu saja, masih ada banyak lagi tujuan dan manfaat bulan bahasa bagi kita. Nah, dari beberapa manfaat di atas, apakah kamu merasakan tujuan dan manfaat tersebut? Jika kamu menemukan kesan lain, bisa dituliskan di kolom komentar ya.
Terlepas dari pengertian, sejarah, dan tujuan bulan bahasa. Ternyata setiap setahun sekali, bulan bahasa selalu diperingati oleh organisasi untuk menyemarakkan. Tentu saja ada banyak kegiatan yang akan diselenggarakan.
Mulai diselenggarakan adanya lomba menulis cerpen, puisi atau membaca puisi. Adapun lembaga atau dinas balai bahasa, pasti setiap hari peringatan bulan bahasa dan sastra juga akan menyelenggarakan banyak rangkaian kegiatan menarik untuk masyarakat dan untuk para pemuda. Baik itu untuk pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum.
Sifat kegiatan pun beragam. Tiap daerah, dinas atau organisasi berhak mengadakan kegiatan. Tidak hanya melulu mengadakan lomba. Tetapi ada juga yang mengadakan talkshow/bedah karya sastra dan masih banyak lagi.
Ada pula yang membuat ajang mencari pemuda yang dijadikan sebagai duta bahasa. Dulu, moment ini paling menarik dan menyenangkan di jaman saya. Nah, bagaimana dengan sekarang? Buat yang punya pengalaman, bisa share di kolom komentar.
Dari beberapa ulasan tentang bulan bahasa. Ternyata setiap peringatan hari besar terbentuk karena memiliki selling point atau memiliki cerita sejarah yang prosesnya panjang. Itu sebabnya bulan bahasa selalu diperingati setiap setahun sekali.
Dari ketiga sumpah yang diucapkan, taki (ikrar) ketiga terbilang menarik untuk disimak. Para pemuda Indonesia ketika itu berjanji untuk menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Dengan ragam bahasa daerah lebih dari 400 jenis, tekad ini merupakan terobosan penting yang di kemudian hari terbukti sukses. Bahasa Indonesia benar-benar tampil menjadi bahasa persatuan. Bahasa Indonesia menyelinap masuk jauh ke pelosok-pelosok Indonesia, digunakan secara meluas, diposisikan baik sebagai bahasa pertama maupun kedua setelah bahasa daerah setempat. Tatkala penulis menghadiri sebuah seminar tentang Papua belum lama berselang di Jakarta, teman-teman dari Papua dengan bangga mengatakan bahwa di Tanah Papua yang notabene merupakan daerah terjauh dari Tanah Melayu (Sumatera Timur) sebagai tempat asal muasal bahasa Indonesia, ternyata bahasa Indonesia sejak lama sudah digunakan sebagai medium komunikasi anak-anak suku di Papua secara sangat efektif. Ada yang berani mengatakan bahwa kualitas bahasa Indonesia mereka bahkan jauh lebih baik (dalam arti lebih baku) dibandingkan dengan kebanyakan penutur bahasa Indonesia di kota-kota di Sumatera dan Jawa.
Fenomena ini tentu menggembirakan di tengah isu-isu disintegrasi terkait ketanah-airan (sumpah pertama) dan kebangsaan (sumpah kedua). Prestasi Indonesia dalam menjaga identitas kebahasaannya merupakan keberhasilan yang terbukti tidak semua bangsa dapat mencapainya.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan hukum dan bahasa hukum? Seorang ahli hukum adat Indonesia asal Belanda, Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) pernah meragukan kemungkinan ada yang disebut bahasa Indonesia. Figur yang kerap disebut ‘Bapak Hukum Adat Indonesia’ ini mengatakan sangat mungkin untuk membentuk satu hukum nasional Indonesia, tetapi tidak untuk bahasa nasional Indonesia. Dugaan Vollenhoven terbukti kebalikannya. Setelah Indonesia memasuki dasawarsa ketujuh kemerdekaannya, desain besar sistem hukum nasional kita belum benar-benar berhasil diwujudkan. Ketiadaan desain ini menguras banyak energi kita di tengah perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum (versus pluralisme hukum), atau perlu tidaknya pembentukan kodifikasi hukum (versus modifikasi hukum). Produk hukum kolonial Belanda yang berbentuk wet, ordonantie, dan reglement, masih tersebar dan dipakai di sana-sini.
Ketidakseriusan kita dalam merancang desain hukum nasional tercermin dari pembentukan terminologi hukum kita yang terbilang tidak taat asas seturut kaidah bahasa Indonesia. Kita masih bingung untuk memakai istilah ‘hukum formal’ atau ‘hukum formil’. Demikian juga: ‘hukum materiil’, ‘hukum materiel’, atau ‘hukum material’? Lalu apakah: ‘sistem presidensiil’ atau ‘sistem presidensial’?
Para pembentuk hukum kita perlu serius untuk menyikapi hal ini karena begitu sebuah terma diperkenalkan di dalam undang-undang, maka pada detik itu juga ia akan menjadi kosakata resmi dan masuk dalam perbendaharaan bahasa hukum Indonesia. Sebagai contoh, dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembentuk undang-undang ternyata memakai kata ‘praktek monopoli’ dan bukan ‘praktik monopoli’ sebagaimana seharusnya menurut kaidah pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia. Kebingungan ini juga ikut menimpa nama institusi hukum kita, misalnya singkatan Ditjen HAKI yang sejak awal sebenarnya sudah disadari keliru sebagai kependekan untuk nama sebuah direktorat jenderal di bidang hak [atas] kekayaan intelektual, pernah diubah menjadi Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, dan sekarang menjadi Ditjen Kekayaan Intelektual.
Dalam menyambut Bulan Bahasa tahun ini, tampaknya kita perlu disadarkan bahwa urusan berbahasa bukan perkara sepele. Penggunaan kata dan kalimat yang keliru dapat sangat menyesatkan apabila kata dan kalimat itu diperkenalkan di hadapan publik apalagi kemudian mengikat menjadi bahasa hukum. Lembaga-lembaga resmi negara seperti DPR dan pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam memilih kata tatkala mereka menerbitkan peraturan perundang- undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Juga instansi-instansi yang produknya bersentuhan dengan publik, terlepas apakah mereka institusi pemerintahan atau swasta, seperti media massa dan perusahaan periklanan, tidak boleh lagi sembarangan menelurkan peringatan/informasi dengan bahasa Indonesia yang keliru. Dalam pengamatan penulis, PT Jasa Marga yang menjadi pengelola jalan tol tergolong paling sembrono dalam berbahasa Indonesia.
(misalnya, masih saja keliru dalam menulis kata ‘menaikkan’ menjadi ‘menaikan’; atau ‘di jalan’ menjadi ‘dijalan’).
Terlepas dari kekeliruan berbahasa yang terjadi karena kesembronoan, tentu ada ruang bagi pengguna bahasa Indonesia untuk juga terus beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan praktis. Bahasa adalah medium yang paling demokratis karena preferensi berbahasa tidak dapat dipaksakan oleh otoritas manapun. Von Savigny pernah menganologikan hukum dengan bahasa karena dalam pandangannya keduanya tumbuh bagaikan organisme yang hidup.
Dalam perjalanan bahasa Indonesia, tidak bisa dihindari bahwa interaksi para pengguna bahasa Indonesia dengan penggunaan bahasa asing menyebabkan banyak kompromi harus dilakukan. Hal ini merupakan tantangan yang tidak kecil. Pengguna bahasa Indonesia terkadang harus melakukan adaptasi karena alasan-alasan praktis dan pragmatis. Selama bangsa kita belum tampil sebagai bangsa pencipta (creator) dan lebih memilih sebagai bangsa pengguna (user), maka dapat dipastikan infiltrasi bahasa asing (khususnya Inggris) akan terus masuk ke dalam bahasa Indonesia. Terbukti, tatkala kita memperkenalkan istilah titikus untuk menggantikan mouse sebagai alat bantu penggerak krusor di layar monitor komputer, tetap saja nomenklatur yang terakhir ini lebih populer dan tidak tergantikan.
Kebutuhan praktis dan pragmatis itu sangat kentara terjadi demi kepentingan pemasaran. Pendekatan ini membuat nama suatu permukiman, misalnya, harus dialihkan dari bahasa Indonesia menjadi bahasa asing. Apartment dianggap lebih bernilai jual dibandingkan rumah susun. Agus R. Sardjono dalam bukunya ‘Bahasa dan Bonafiditas Hantu’ (2001: 59-60) mengatakan bahawa bahasa ternyata bukan sekadar komunikasi, melainkan terkait pada upaya-upaya mengelola dunia, citra, dan makna-makna. Dengan demikian, tidak ada yang bisa mencegah orang memberikan nama asing untuk produk-produk lokal agar terkesan aksi sekaligus rendah diri. Sama halnya tidak ada yang bisa mencegah orang memberi nama Indonesia untuk produk- produk asing agar terkesan nasionalis dan mempribumi.
Kecenderungan yang sama terjadi pula pada dunia pendidikan. Istilah komunikasi pemasaran tergolong kurang seksi dibandingkan dengan marketing communication. Demikian juga business law dan hukum bisnis. Dalam situs ini saja, misalnya, kosakata bahasa Indonesia, tidak bisa dihindari, tercampur di sana-sini dengan bahasa asing. Boleh jadi ada tendensi rendah diri dalam konteks ini, namun seni menjual memiliki dalil-dalilnya sendiri.
Di beberapa perguruan tinggi, penggunaan istilah asing mulai gencar diperkenalkan dengan kesadaran bahwa perguruan tinggi Indonesia juga harus berkompetisi secara global. Sedikit demi sedikit mata kuliah mulai dibawakan dalam bahasa pengantar asing. Bagi pengajar hukum, pergeseran ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat tidak semua istilah hukum Indonesia dapat dipertukarkan dengan istilah asing dengan makna persis sama. Salah satunya karena latar belakang keluarga sistem hukum yang berbeda.
Catatan kecil ini mengindikasikan perlunya kita semua merawat bahasa nasional kita, namun tidak dengan jalan memaksakan atau menutup diri terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dan pragmatis dalam berbahasa. Sepanjang penutur bahasa Indonesia ingin terus belajar memahami kaidah-kaidah dasar bahasa Indonesia
yang baik dan benar, maka selama ini pula kita masih boleh berbangga memiliki aset nasional kita: bahasa Indonesia. Dan, khusus bagi kalangan pencinta dan peminat hukum Indonesia, kita perlu meyakini bahwa bahasa hukum pun tetap harus tunduk pada hukum bahasa…! Semoga ulasan dan penjelasan singkat ini cukup memberikan pemahaman tentang bulan bahasa. Semoga bermanfaat dan selamat menyambut Bulan Bahasa 2023! (***)
sumber:
(PDF) Bulan Bahasa, Sumpah Pemuda, dan Bahasa Hukum (researchgate.net)
Mara, Yoga. 2017. Apa itu Bulan Bahasa?. Kompasiana.com. Diakses pada 10 Mei 2022 (https://www.kompasiana.com/yongmara1/59d724b0ad948c09d1165a72/apa-itu-bulan-bahasa)
Hanung WL dan Ekasari, Awita. 2019. Sejarah Singkat Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Diakses pada 10 Mei 2022 https://blog.mizanstore.com/sejarah-singkat-bulan-bahasa-dan-sastra-indonesia/
Setyaningrum, Puspasari. 2022. Sumpah Pemuda https://regional.kompas.com/read/2022/01/12/220332578/sumpah-pemuda-isi-teks-sejarah-dan-maknanya?page=all#:~:text=Bunyi%20Sumpah%20Pemuda%20yang%20masih,menjunjung%20bahasa%20persatuan%2C%20bahasa%20Indonesia.